Mengelola Perubahan
OLEH: AGUSTINUS SETYAWAN*
Dalam setiap dimensi kehidupan, perubahan pasti selalu ada. Tidak ada sesuatu yang abadi dalam kehidupan dan yang tidak berubah hanyalah perubahan itu sendiri. Sehingga kita dapat mengambil kesimpulan bahwa selama menjalani kehidupan, kita tidak akan pernah bisa menghindar dari perubahan tersebut. Meskipun ada beberapa orang yang enggan berubah, sebenarnya secara tidak disadari, mereka telah banyak mengalami perubahan dalam diri mereka. Tidak dapat dimungkiri bahwa dunia terus berubah dengan sangat cepat.
Perubahan tidak hanya terjadi pada satu sisi kehidupan. Tidak terkecuali dalam bidang pendidikan. Selalu ada perubahan yang terjadi. Baik dari sisi kurikulum, sarana-prasarana pembelajaran, metodologi pembelajaran, sasaran pembelajaran, dan juga capaian dari proses pembelajaran. Artinya, orang-orang yang akan dihasilkan oleh proses pembelajaran juga akan mengalami perubahan. Hal ini dapat terjadi terutama dalam tuntutan-tuntutan kompetensi yang harus dimiliki oleh seseorang apabila selesai menjalani proses pembelajaran. Tuntutan saat ini, standar minimal kompetensi yang harus dikuasai seseorang harus lebih kreatif dan inovatif. Karena salah satu hal yang dapat mengimbangi adanya perubahan adalah inovasi.
Dorongan untuk melakukan inovasi tersebut semakin kuat karena keinginan untuk memenuhi tuntutan yang terjadi di dunia kerja. Maka tidaklah berlebihan apabila dikatakan bahwa perubahan-perubahan yang dilakukan di dunia pendidikan tentu saja ingin menjawab kebutuhan-kebutuhan yang terjadi di pasar kerja. Adanya tuntutan perubahan di dunia kerja mengandung konsekuensi bahwa para individu yang sekarang berada dalam dunia pendidikan harus juga mempunyai persepsi bahwa berubah adalah suatu keharusan. Sehingga hasil akhir dari suatu proses pembelajaran tidak hanya sekadar lulus atau mendapatkan ijazah. Tetapi kualitas seperti apa yang dapat menjawab kebutuhan dunia industri kerja. Itulah sebagai salah satu tolok ukurnya. Semakin banyak lulusan yang diserap oleh dunia usaha dan industri, maka semakin berhasil dunia pendidikan dalam meningkatkan kualitas lulusannya.
Semua pihak yang berada dalam lingkaran proses pembelajaran juga harus mau membuka diri terhadap angin perubahan ini. Mengapa hal ini perlu dilakukan? Apabila seseorang tetap bertahan dengan persepsinya bahwa tanpa berubah masih dapat hidup, maka cepat atau lambat orang itu akan menjadi bagian dari dampak perubahan: terpinggirkan atau terpaksa dipinggirkan. Maka tidak ada kata lain agar tetap dapat bertahan atau berkembang, betapa pun sulitnya, hendaknya tetap harus rela untuk melakukan penyesuaian diri terhadap hal-hal baru yang menjadi tuntutan.
Meskipun perubahan tidak selalu menghasilkan sesuatu yang menguntungkan bagi sesorang, tetapi tidak ada jalan lain, kalau ingin maju, ingin lebih baik, dan mampu bertahan dalam setiap tuntutan, maka jawaban atas semua itu adalah harus berubah. Namun demikian, tidak banyak orang yang berani untuk melakukan perubahan. Terkadang ada yang merasa senang berada pada kondisi status quo. Kemapanan dan cenderung merindukan datangnya masa lalu yang mungkin telah hilang.
Menurut Jagdesh Sheth dalam bukunya Self-Destructive Habits, ada tujuh perilaku perusak diri: denying (menyangkal), arrogance (merasa lebih benar dari orang lain), competitive myopia (terlalu sempit memandang masa depan baru), competency dependence (ketergantungan pada kompetensi yang dimiliki pada masa lalu), territorial impulse (merasa hanya dirinya yang berhak menyatakan kebenaran), complacency (sudah merasa nyaman dan tidak mau berubah), dan volume obsession (mengandalkan volume besar).
Sungguh sangat disayangkan ketika kesadaran untuk berubah terlambat dan ketika sudah tidak mempunyai kekuatan apa pun untuk berkontribusi. Lakukan perubahan pada saat masih memiliki kekuatan dan sumber daya yang memadai dan jangan menunggu sampai pada titik kritis. Segera lakukan turn around. Jangan pedulikan seberapa jauh jalan salah yang Anda jalani. Putar arah sekarang juga.
MENGAPA PERLU BERUBAH?
Pertanyaan ini sering muncul ketika Anda tahu bahwa akan ada perubahan yang menimpa diri Anda. Pertanyaan itu muncul seiring dengan ketidakyakinan Anda bahwa perubahan itu akan menguntungkan Anda. Anda cenderung akan mengembangkan sikap reaktif terhadap perubahan itu. Bertindak terlebih dahulu, baru kemudian melakukan pemikiran yang mendalam. Pola pikir seperti inilah yang acap membuat Anda terjebak pada suatu pemahaman bahwa perubahan hanya akan merugikan diri Anda. Sehingga yang terjadi adalah sikap apatis terhadap perubahan itu. Segera rombak cara berpikir Anda!
Padahal, tuntutan untuk berubah cepat atau lambat pasti akan datang juga. Sehingga pilihannya hanya berubah atau punah. Tuntutan-tuntutan supaya Anda berubah lebih banyak datang dari perkembangan ilmu, teknologi, dan juga kondisi krisis yang terjadi saat ini. Sehingga ketika Anda berada di abad yang serba maju dan modern ini, potensi Anda, baik yang bersifat teknis maupun non-teknis, harus Anda diperbarui. Artinya, Anda harus bersedia mereformasi diri Anda. Anda tidak mungkin menahan lajunya perkembangan itu. Yang sangat mungkin Anda lakukan dan hal itu realistis adalah apabila Anda melakukan penyesuaian diri terhadap perubahan itu.
ZONA NYAMAN
Setiap orang pasti mempunyai daerah nyaman sendiri-sendiri. Hal itu akan menjadi persoalan ketika daerah nyaman tersebut tersentuh oleh perubahan. Daerah nyaman itu bisa berupa jabatan Anda, kebiasaan Anda, cara kerja Anda, pola pikir Anda, sistem perusahaan, masa lalu Anda, dan banyak hal lainnya. Padahal zona nyaman tersebut suatu saat akan menjadi usang karena sudah tidak sesuai dengan tuntutan. Sehingga ketika Anda tidak melakukan perubahan, maka zona nyaman yang Anda miliki tersebut tidak akan ada artinya lagi. Karena pada kenyataannya, manusia sering dikendalikan oleh zona nyamannya.
Banyak orang yang berusaha mati-matian mempertahankan pola kerja lamanya untuk digantikan dengan pola kerja yang baru. Alasannya, karena ia sudah terbiasa dengan pola kerja yang lama tersebut. Sehingga ketika diperkenalkan pada pola kerja yang baru, ia cenderung menolaknya. Banyak orang yang merasa nyaman dengan sistem perusahaan yang lama. Ketika dihadapkan pada suatu kenyataan bahwa sistemnya harus diubah, maka yang terjadi adalah penolakan. Banyak orang yang merasa dengan keterampilan dan sikap mentalnya yang lama masih mampu untuk bersaing. Padahal tuntutannya sudah berbeda!
MENGHADAPI PERUBAHAN
Tidak semua orang memiliki sikap sama dalam menghadapi perubahan. Tergantung cara pandang dan memahami perubahan. Namun yang paling penting: apa pun sikap yang ditunjukkan, perubahan tetap berjalan. Membangun mental pemenang sejak dini merupakan hal yang sangat penting dalam melakukan perubahan. Sebagai contoh, pemberian pengetahuan kepada peserta didik harus diimbangi dengan pembekalan mentalitas dasar. Sehingga akan melahirkan generasi yang tangguh. Bukan hanya menjadi generasi wacana. Dukungan moril sangat diperlukan dalam setiap usaha melakukan perubahan. Secara umum, dalam menghadapi perubahan, kita akan menemukan beberapa sikap seperti menolak, menunggu dan menerima.
Sikap menolak terhadap perubahan biasanya dilakukan oleh individu yang berprasangka negatif terhadap perubahan dan mempunyai suatu pandangan bahwa perubahan hanya akan mendatangkan banyak kesulitan bagi dirinya. Bisa saja orang yang menolak perubahan ini memang tidak tahu untuk apa perubahan itu terjadi. Sehingga ia menunjukkan sikap dan perilaku untuk menolaknya. Hal ini wajar. Karena memang ia tidak mengerti tentang perubahan. Namun yang lebih parah lagi, ada sementara orang yang mengerti betul untuk apa perubahan itu, dan juga sadar bahwa perubahan itu akan menguntungkan banyak pihak. Tetapi karena berdasarkan kalkulasi dirinya, ternyata perubahan tersebut tidak menguntungkan secara pribadi. Maka yang dilakukannya adalah menolak perubahan tersebut. Penolakan terhadap perubahan biasanya dilakukan oleh orang-orang yang terlanjur berada dalam zona nyaman. Mereka sudah membiasakan dengan pola kerja, sistem kerja, mentalitas dasar yang dirasakan menguntungkan bagi dirinya. Padahal sebenarnya itu semua sudah tidak sesuai lagi dengan tuntutan zaman. Tetapi karena mereka tidak mau melepaskan diri dan keluar dari zona nyaman, maka mereka cenderung melakukan penolakan-penolakan terhadap perubahan.
Sikap menunggu ditunjukkan oleh mereka yang belum mempunyai kepastian tentang perubahan itu sendiri. Di satu sisi setuju dengan perubahan. Tetapi di lain sisi masih tetap mengkhawatirkan efek dari perubahan itu bagi dirinya. Maka sikap yang dikembangkan adalah lebih baik menunggu. Artinya, dalam menerima perubahan cenderung setengah hati dan akan berubah untuk hal-hal yang menguntungkannya.
Seseorang lebih cenderung kembali kepada masa lalunya apabila perubahan itu merugikannya. Sikap semacam ini lambat atau cepat pasti akan menuju ke suatu kutub tertentu. Apabila berjalan ke kutub masa lalunya, berarti ia akan menuju ke zona nyamannya lagi. Tentunya siap-siap untuk termarjinalkan oleh perubahan itu.
Sikap menerima perubahan biasanya dimiliki oleh pribadi-pribadi yang menyukai tantangan. Meskipun sebenarnya belum begitu yakin apakah perubahan itu akan menguntungkannya atau tidak. Tetapi karena seseorang memaknai perubahan sebagai perpindahan ke dunia baru, maka sesuatu yang baru itu diyakini sebagai sebuah tantangan yang harus ditaklukkan. Dalam dirinya bukanlah suatu ketakutan untuk menghadapi perubahan. Tetapi ia akan mengembangkan sikap mental optimis: perubahan pasti akan membawa pada keadaan yang lebih baik. Menerima perubahan sangat efektif apabila tidak dipicu oleh ada dan tidaknya reward atau punishment kepada dirinya. Tetapi benar-benar muncul dari sikap mental yang memang mendukung perubahan itu.
Apabila penerimaan perubahan hanya sebatas perilaku saja, maka hal itu hanya akan berlangsung dalam jangka pendek. Ketika kekuatan reward dan punishment tidak dirasakan lagi, maka seseorang akan kembali ke kehidupan lamanya. Tetapi apabila penerimaan itu karena dorongan sikap mental, maka hal itu akan menjadi suatu kebiasaan. Karena yang diubah seseorang bukan perilakunya. Melainkan paradigma dan pola pikirnya terhadap perubahan. Hal itulah yang akan menjadi dasar dan kekuatan seseorang untuk sadar mengubah perilakunya.
Dalam proses melakukan perubahan, John P. Kotter dalam bukunya Leading Change mengidentifikasi delapan langkah perubahan yang meliputi: create set of urgency (ciptakan suasana mendesak/membakar rasa nyaman), build guiding coalition (bentuklah koalisi dalam melakukan perubahan), form strategic vision and initiatives (membangun visi yang strategik dan inisiatif), enlist volunteer army (komunikasikan visi), enable action by removing barriers (dorong para pengikut agar bertindak sesuai dengan visi yang sudah ditulis dan dikomunikasikan), generate short term wins (raih kemenangan-kemenangan jangka pendek), sustain acceleration (jangan pernah berhenti dan terus lakukan konsolidasi), dan institute change (lembagakan pendekatan-pendekatan baru dan terapkan perubahan secara struktural dan berkelanjutan). Delapan langkah Kotter tersebut dapat dijadikan sebagai acuan seseorang agar dapat melakukan perubahan dengan sukses. (*Praktisi SDM dan Pemerhati Pendidikan Vokasi)
source: https://nomorsatukaltim.com/2020/08/25/mengelola-perubahan/